Samurai adalah istilah untuk perwira militer kelas elit sebelum zaman industrialisasi di Jepang. Kata "samurai" berasal dari kata kerja "samorau" asal bahasa Jepang kuno, berubah menjadi "saburau" yang berarti "melayani", dan akhirnya menjadi "samurai" yang bekerja sebagai pelayan bagi sang majikan.
Istilah yang lebih tepat adalah bushi (harafiah: "orang bersenjata") yang digunakan semasa zaman Edo. Bagaimanapun, istilah samurai digunakan untuk prajurit elit dari kalangan bangsawan, dan bukan contohnya, ashigaru atau tentara berjalan kaki. Samurai yang tidak terikat dengan klan atau bekerja untuk majikan (daimyo) disebut ronin (harafiah: "orang ombak"). Samurai yang bertugas di wilayah han disebut hanshi.
Samurai harus sopan dan terpelajar, dan semasa Keshogunan Tokugawa berangsur-angsur kehilangan fungsi ketentaraan mereka. Pada akhir era Tokugawa, samurai secara umumnya adalah kakitangan umum bagi daimyo, dengan pedang mereka hanya untuk tujuan istiadat. Dengan reformasi Meiji pada akhir abad ke-19, samurai dihapuskan sebagai kelas berbeda dan digantikan dengan tentara nasional menyerupai negara Barat. Bagaimanapun juga, sifat samurai yang ketat yang dikenal sebagai bushido masih tetap ada dalam masyarakat Jepang masa kini, sebagaimana aspek cara hidup mereka yang lain.
Perkataan samurai berasal pada sebelum zaman Heian di Jepang di mana bila seseorang disebut sebagai saburai, itu berarti dia adalah seorang suruhan atau pengikut. Hanya pada awal zaman modern, khususnya pada era Azuchi-Momoyama dan awal periode/era Edo pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17 perkataan saburai bertukar diganti dengan perkataan samurai. Bagaimanapun, pada masa itu, artinya telah lama berubah, yang kemudian berubah pengertian menjadi “orang yang mengabdi”.
Namun selain itu dalam sejarah militer Jepang, terdapat kelompok samurai yang tidak terikat/mengabdi kepada seorang pemimpin/atasan yang dikenal dengan rōnin. Rōnin ini sudah ada sejak zaman Muromachi (1392). istilah rōnin digunakan bagi samurai tak bertuan pada zaman Edo (1603 – 1867). Dikarenakan adanya pertempuran yang berkepanjangan sehingga banyak samurai yang kehilangan tuannya kehidupan seorang rōnin bagaikan ombak dilaut tanpa arah tujuan yang jelas. Ada beberapa alasan seorang samurai menjadi rōnin. Seorang samurai dapat mengundurkan diri dari tugasnya untuk menjalani hidup sebagai rōnin. Adapula rōnin yang berasal dari garis keturunan, anak seorang rōnin secara otomatis akan menjadi rōnin. Eksistensi rōnin makin bertambah jumlahnya diawali berakhirnya perang Sekigahara (1600), yang mengakibatkan jatuhnya kaum samurai/daimyo yang mengakibatkan para samurai kehilangan majikannya.
Dalam catatan sejarah militer di Jepang, terdapat data-data yang menjelaskan bahwa pada zaman Nara (710 – 784), pasukan militer Jepang mengikuti model yang ada di Cina dengan memberlakukan wajib militer dan dibawah komando langsung Kaisar. Dalam peraturan yang diberlakukan tersebut setiap laki-laki dewasa baik dari kalangan petani maupun bangsawan, kecuali budak, diwajibkan untuk mengikuti dinas militer. Secara materi peraturan ini amat berat, karena para wakil tersebut atau kaum milter harus membekali diri secara materi sehingga banyak yang menyerah dan tidak mematuhi peraturan tersebut. Selain itu pula pada waktu itu kaum petani juga dibebani wajib pajak yang cukup berat sehingga mereka melarikan diri dari kewajiban ini. Pasukan yang kemudian terbentuk dari wajib militer tersebut dikenal dengan sakimori yang secara harfiah berarti “pembela”, namun pasukan ini tidak ada hubungannya dengan samurai yang ada pada zaman berikutnya.
Setelah tahun 794, ketika ibu kota dipindahkan dari Nara ke Heian (Kyoto), kaum bangsawan menikmati masa kemakmurannya selama 150 tahun dibawah pemerintahan kaisar. Tetapi, pemerintahan daerah yang dibentuk oleh pemerintah pusat justru menekan para penduduk yang mayoritas adalah petani. Pajak yang sangat berat menimbulkan pemberontakan di daerah-daerah, dan mengharuskan petani kecil untuk bergabung dengan tuan tanah yang memiliki pengaruh agar mendapatkan pemasukan yang lebih besar. Dikarenakan keadaan negara yang tidak aman, penjarahan terhadap tuan tanah pun terjadi baik di daerah dan di ibu kota yang memaksa para pemilik shoen (tanah milik pribadi) mempersenjatai keluarga dan para petaninya. Kondisi ini yang kemudian melahirkan kelas militer yang dikenal dengan samurai.
Kelompok toryo (panglima perang) dibawah pimpinan keluarga Taira dan Minamoto muncul sebagai pemenang di Jepang bagian Barat dan Timur, tetapi mereka saling memperebutkan kekuasaan. Pemerintah pusat, dalam hal ini keluarga Fujiwara, tidak mampu mengatasi polarisasi ini, yang mengakibatkan berakhirnya kekuasaan kaum bangsawan.
Kaisar Gonjo yang dikenal anti-Fujiwara, mengadakan perebutan kekuasaan dan memusatkan kekuasaan politiknya dari dalam o-tera yang dikenal dengan insei seiji. Kaisar Shirakawa,menggantikan kaisar Gonjo akhirnya menjadikan o-tera sebagai markas politiknya. Secara lihai, ia memanfaatkan o-tera sebagai fungsi keagamaan dan fungsi politik.
Tentara pengawal o-tera, souhei pun ia bentuk, termasuk memberi sumbangan tanah (shoen) pada o-tera. Lengkaplah sudah o-tera memenuhi syarat sebagai “negara” di dalam negara. Akibatnya, kelompok kaisar yang anti pemerintahan o-tera mengadakan perlawanan dengan memanfaatkan kelompok Taira dan Minamoto yang sedang bertikai.
Keterlibatan Taira dan Minamoto dalam pertikaian ini berlatar belakang pada kericuhan yang terjadi di istana menyangkut perebutan tahta, antara Fujiwara dan kaisar yang pro maupun kotra terhadap o-tera. Perang antara Minamoto, yang memihak o-tera melawan Taira, yang memihak istana, muncul dalam dua pertempuran besar yakni Perang Hogen (1156) dan Perang Heiji (1159). Peperangan akhirnya dimenangkan oleh Taira yang menandai perubahan besar dalam struktur kekuasaan politik. Untuk pertama kalinya, kaum samurai muncul sebagai kekuatan politik di istana.
Taira pun mengangkat dirinya sebagai kuge (bangsawan kerajaan), sekaligus memperkokoh posisi samurai-nya. Sebagian besar keluarganya diberi jabatan penting dan dinobatkan sebagai bangsawan.
Keangkuhan keluarga Taira akhirnya melahirkan konspirasi politik tingkat tinggi antara keluarga Minamoto (yang mendapat dukungan dari kaum bangsawan) dengan kaisar Shirakawa, yang pada akhirnya mengantarkan keluarga Minamoto mendirikan pemerintahan militer pertama di Kamakura (Kamakura Bakufu; 1192 – 1333).
Ketika Minamoto Yoritomo wafat pada tahun 1199, kekuasaan diambil alih oleh keluarga Hojo yang merupakan pengikut Taira. Pada masa kepemimpinan keluarga Hojo (1199 -1336), ajaran Zen masuk dan berkembang di kalangan samurai. Para samurai mengekspresikan Zen sebagai falsafah dan tuntunan hidup mereka.
Pada tahun 1274, bangsa Mongol datang menyerang Jepang. Para samurai yang tidak terbiasa berperang secara berkelompok dengan susah payah dapat mengantisipasi serangan bangsa Mongol tersebut. Untuk mengantisipasi serangan bangsa Mongol yang kedua (tahun 1281), para samurai mendirikan tembok pertahanan di teluk Hakata (pantai pendaratan bangsa mongol) dan mengadopsi taktik serangan malam. Secara menyeluruh, taktik berperang para samurai tidak mampu memberikan kehancuran yang berarti bagi tentara Mongol, yang menggunakan taktik pengepungan besar-besaran, gerak cepat, dan penggunaan senjata baru (dengan menggunakan mesiu). Pada akhirnya, angin topanlah yang menghancurkan armada Mongol, dan mencegah bangsa Mongol untuk menduduki Jepang. Orang Jepang menyebut angin ini kamikaze (dewa angin).
Dua hal yang diperoleh dari penyerbuan bangsa Mongol adalah pentingnya mobilisasi pasukan infantri secara besar-besaran, dan kelemahan dari kavaleri busur panah dalam menghadapi penyerang. Sebagai akibatnya, lambat laun samurai menggantikan busur-panah dengan “pedang” sebagai senjata utama samurai. Pada awal abad ke-14, pedang dan tombak menjadi senjata utama di kalangan panglima perang.
Pada zaman Muromachi (1392 – 1573), diwarnai dengan terpecahnya istana Kyoto menjadi dua, yakni Istana Utara di Kyoto dan Istana Selatan di Nara. Selama 60 tahun terjadi perselisihan sengit antara Istana Utara melawan Istana Selatan (nambokuchō tairitsu). Pertentangan ini memberikan dampak terhadap semakin kuatnya posisi kaum petani dan tuan tanah daerah (shugo daimyō) dan semakin lemahnya shogun Ashikaga di pemerintahan pusat. Pada masa ini, Ashikaga tidak dapat mengontrol para daimyō daerah. Mereka saling memperkuat posisi dan kekuasaannya di wilayah masing-masing.
Kondisi ini melahirkan krisis panjang dalam bentuk perang antar tuan tanah daerah atau sengoku jidai (1568 – 1600). Tetapi krisis panjang ini sesungguhnya merupakan penyaringan atau kristalisasi tokoh pemersatu nasional, yakni tokoh yang mampu menundukkan tuan-tuan tanah daerah, sekaligus menyatukan Jepang sebagai “negara nasional” di bawah satu pemerintahan pusat yang kuat. Tokoh tersebut adalah Jenderal Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi.
Oda Nobunaga, seorang keturunan daimyo dari wilayah Owari dan seorang ahli strategi militer, mulai menghancurkan musuh-musuhnya dengan cara menguasai wilayah Kinai, yaitu Osaka sebagai pusat perniagaan, Kobe sebagai pintu gerbang perdagangan dengan negara luar, Nara yang merupakan “lumbung padi”, dan Kyoto yang merupakan pusat pemerintahan Bakufu Muromachi dan istana kaisar.
Strategi terpenting yang dijalankannya adalah Oda Nobunaga dengan melibatkan agama untuk mencapai ambisinya. Pedagang portugis yang membawa agama Kristen, diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama itu di seluruh Jepang. Tujuan strategis Oda dalam hal ini adalah agar ia secara leluasa dapat memperoleh senjata api yang diperjualbelikan dalam kapal-kapal dagang Portugis, sekaligus memonopoli perdagangan dengan pihak asing. Dengan memiliki senjata api (yang paling canggih pada masa itu), Oda akan dapat menundukkan musuh-musuhnya lebih cepat dan mempertahankan wilayah yang telah dikuasainya serta membentuk pemerintahan pusat yang kokoh.
Oda Nobubunaga membangun benteng Azuchi Momoyama pada tahun 1573 setelah berhasil menjatuhkan Bakufu Muromachi. Strategi Oda dengan melindungi agama Kristen mendatangkan sakit hati bagi pemeluk agama Budha. Pada akhirnya, ia dibunuh oleh pengikutnya sendiri, Akechi Mitsuhide, seorang penganut agama Budha yang fanatik, pada tahun 1582 di Honnoji, sebelum ia berhasil menyatukan seluruh Jepang.
Toyotomi Hideyoshi, yang merupakan pengikut setia Oda, melanjutkan penyatuan Jepang, dan tugasnya ini dituntaskan pada tahun 1590 dengan menaklukkan keluarga Hojo di Odawara dan keluarga Shimaru di Kyushu tiga tahun sebelumnya.
Terdapat dua peraturan penting yang dikeluarkan Toyotomi : taiko kenchi (peraturan kepemilikan tanah) dan katana garirei (peraturan perlucutan pedang) bagi para petani. Kedua peraturan ini secara strategis bermaksud “mengontrol” kekayaan para tuan tanah dan mengontrol para petani agar tidak melakukan perlawanan atau pemberontakan bersenjata.
Keberhasilan Toyotomi menaklukkan seluruh tuan tanah mendatangkan masalah tersendiri. Semangat menang perang dengan energi pasukan yang tidak tersalurkan mendatangkan ancaman internal yang menjurus kepada disintegrasi bagi keluarga militer yang tidak puas atas kemenangan Toyotomi. Dalam hal inilah Toyotomi menyalurkan kekuatan dahsyat tersebut untuk menyerang Korea pada tahun 1592 dan 1597. Sayang serangan ini gagal dan Toyotomi wafat pada tahun 1598, menandakan awal kehancuran bakufu Muromachi.
Kecenderungan terdapat perilaku bawahan terhadap atasan yang dikenal dengan istilah gekokujō ini telah muncul tatkala Toyotomi menyerang Korea. Ketika itu, Tokugawa Ieyasu mulai memperkuat posisinya di Jepang bagian timur, khususnya di Edo (Tokyo). Kemelut ini menyulut perang besar antara kelompok-kelompok daimyo yang memihak Toyotomi melawan daimyo yang memihak Tokugawa di medan perang Sekigahara pada tahun 1600. Kemenangan berada di pihak Tokugawa di susul dengan didirikannya bakufu Edo pada tahun 1603.
KEMATIAN SAMURAI
Kematian dianggap sebagai jalan yang mulia bagi seorang samurai daripada tindakan pahlawan-pahlawan lain. Cara kematian dianggap suatu hal yang sangat penting bagi seorang samurai. Ajaran yang menerangkan mengenai “mati yang terbaik” telah ditulis di dalam sebuah buku, Hagakure pada kurun ke-18. Ditulis lama selepas tentera samurai berangkat ke medan peperangan, Hagakure - buku tersebut dikatakan telah membawa semangat dan panji samurai ke arah kemelaratan dan kesesatan. Tidak dapat dinafikan, wujudnya satu idealisme yang baik di dalam buku tersebut tetapi telah telah disalahtafsirkan oleh para samurai kerana kekaburan maksud kalimatnya. Malah, contoh utama yang boleh dipaparkan di sini terletak di Bab Pendahuluan buku Hagakure itu sendiri:
“Jalan Samurai ditemui dalam kematian. Apabila tiba kepada kematian, yang ada di sini hanya pilihan yang pantas untuk kematian.”
Baris-baris kalimat di atas kemudian menjadi ayat-ayat yang paling popular dalam kebanyakan buku dan majalah mengenai samurai atau budaya bela diri masyarakat Jepang. Petikan di bawah merupakan antara isi kandungan buku Hagakure:
“Kita semua mau hidup. Dalam kebanyakan perkara kita melakukan sesuatu berdasarkan apa yang kita suka. Tetapi sekiranya tidak mencapai tujuan kita dan terus untuk hidup adalah sesuatu tindakan yang pengecut. Tiada keperluan untuk malu dalam soal ini. Ini adalah Jalan Samurai (Bushido). Jika sudah ditetapkan jantung seseorang untuk setiap pagi dan malam, seseorang itu akan dapat hidup walaupun jasadnya sudah mati, dia telah mendapat kebebasan dalam Jalan tersebut. Keseluruhan hidupnya tidak akan dipersalahkan dan dia akan mencapai apa yang dihajatinya.”
Buku Hagakure telah mempengaruhi kehidupan para samurai. Kematian Nobufusa dan Taira Tomomori juga dipengaruhi oleh buku ini.
Taira Tomomori boleh dianggap sebagai Jenderal Taira yang paling agung, telah membunuh diri kerana nasihatnya telah diabaikan pada saat-saat akhir ketika Perang Gempei. Pada pengakhiran konfrontasi ketika Perang Gempei, Tomomori telah mendesak rajanya, Munemori, supaya menyingkirkan seorang jenderal yang diragui kesetiaannya. Munemori telah menolak usulnya, dan ketika berlangsungnya Pertempuran Dan no Ura (1185), jenderal tersebut telah mengkhianati perjuangan Taira. Lantaran kecewa karena nasehat pentingnya diabaikan, Tomomori membuat keputusan untuk menamatkan riwayatnya sendiri.
Cara Kematian 1: Mati Di Medan Pertempuran
Sebagaimana pejuang-pejuang Islam yang menganggap mati syahid dalam peperangan untuk membela Islam sebagai satu kemuliaan, begitu juga dengan para samurai. Mati dibunuh di medan perang adalah lebih baik daripada hidup tetapi ditangkap oleh musuh. Salah seorang samurai yang terkenal, Uesugi Kenshin sempat meninggalkan pesanan kepada para pengikutnya sebelum mati:
“Seseorang yang tidak mau mati karena tertusuk panah musuh tidak akan mendapat perlindungan daripada Tuhan. Bagi kamu yang tidak mau mati karena dipanah oleh tentara biasa, karena mau mati di tangan pahlawan yang handal atau terkenal, akan mendapat perlindungan Tuhan.”
Tidak ada samurai yang pernah terhindar daripada bayangan maut semasa di medan perang. Kebanyakan nama besar dalam dunia samurai tumbang di medan perang. Ayah Uesugi Kenshin terbunuh di dalam pertempuran, sebagaimana Imagawa Yoshimoto, Ryuzoji Takanobu, Saito Dosan, Uesugi Tomosada... sementara yang lain telah mengambil keputusan untuk membunuh diri selepas perjuangan mereka telah dipatahkan, dari zaman Minamoto Yorimasa (kurun ke-12) sampai pada zaman Sue Harukata (kurun ke-16). Kebiasaanya, seseorang samurai akan membuat puisi kematian ketika menjelang maut.
Cara Kematian 2: Seppuku
Tindakan di mana seseorang menyobek perutnya, sebagai suatu cara membunuh diri. Merupakan unsur yang paling popular dalam mitos samurai. Bagi seorang samurai, membunuh diri adalah lebih baik daripada membiarkan ditangkap, karena sekiranya samurai itu masih hidup dan ditangkap, ia dianggap membawa malu kepada nama keluarga dan raja.
Di Barat, cara membunuh diri ini dipanggil Hara-kiri (artinya tindakan Membunuh Diri dengan membelah perut – tetapi istilah ini tidak digunakan oleh para samurai), tidak diketahui kapan istilah itu digunakan. Walau bagaimana pun, seperti yang tercatat dalam sejarah, Seppuku ini mula dilakukan oleh Minamoto Tametomo dan Minamoto Yorisama pada akhir kurun ke-12. Dari sinilah asalnya seorang samurai memilih cara ini karena lebih mudah melakukan dibandingkan membunuh diri dengan cara memenggal kepala sendiri. Ada juga yang mengatakan bahawa dengan melakukan seppuku, iaitu dengan membelah perut adalah merupakan cara yang paling jujur untuk mati. Ini karena, dia sebelum mati akan merasai kesakitan yang amat sangat dan ini mungkin tidak berani dihadapi oleh kebanyakan orang. Oleh karena itu, mati dengan cara seppuku dianggap sebagai suatu keberanian dan kehormatan.
Pada zaman Edo, seppuku telah menjadi sebagai salah satu upacara terhormat dalam kebudayaan Jepang. Mula-mula, karpet tatami putih akan dikeluarkan, kemudian satu bantal yang besar akan diletakkan di atasnya . Para saksi pembunuhan akan berdiri di sebelah samurai tersebut (pelaku seppuku), bergantung kepada pentingnya kematian (sebagai satu nilai penghormatan kepada pelaku seppuku). Samurai yang menjalani seppuku, memakai baju kimono putih, akan duduk berlutut (seiza) di atas bantal tersebut. Di sebelah kiri, pada jarak kira-kira satu meter dari samurai tersebut, seorang kaishakunin, atau `kedua’ akan turut berlutut. Kaishakunin atau `Kedua’ adalah sahabat akrab kepada samurai yang telah meninggal kerana melakukan seppuku. Karena perbuatan ini dianggap tidak senonoh dan amat memalukan (tabu), maka hanya orang-orang yang layak dan terpilih (berkesanggupan untuk melakukan tugas membantu) saja yang akan menjadi kaishakunin.
Di depan samurai (pelaku seppuku) ini akan ada sebilah pisau bersarung yang terletak di dalam talam. Apabila samurai tersebut merasakan dia telah siap, samurai tersebut akan menanggalkan kimononya dan membebaskan bagian perutnya. Kemudian dia akan mengangkat pisau dengan sebelah tangan, manakala sebelah tangan lagi menanggalkan sarung pisau tersebut dan meletakkannya ke tepi.
Apabila dia telah bersedia, dia akan mengarahkan mata pisau tersebut pada sebelah kiri perut, dan menggoreskannya ke kanan. Selepas itu, pisau tersebut akan diputar dalam keadaan masih terbenam di dalam perut dan ditarik ke atas. Kebanyakan samurai tidak sanggup lagi untuk melakukan tindakan ini, maka ketika inilah kaishakunin (artinya kedua) akan memenggal kepala samurai tersebut setelah melihat sejauh mana kesakitan yang terpapar pada wajahnya.
Tindakan yang dilakukan sampai selesai dikenali sebagai jumonji (crosswise), sayatan bintang, dan seandainya samurai (pelaku seppuku) dapat melakukannya, maka seppuku yang dilakukannya dianggap amat bernilai dan disanjung tinggi. Seppuku juga mempunyai nama-nama tertentu, bergantung kepada fungsi atau sebab melakukannya:
- Junshi: Dilakukan sebagai tanda kesetiaan kepada raja, apabila raja tersebut meninggal. Pada zaman Edo, junshi telah diharamkan karena dianggap sia-sia dan merugikan karena negara akan banyak kehilangan perwira yang setia. Semasa kematian Maharaja Meiji pada 1912, Jenderal Nogi Maresue telah melakukan junshi.
- Kanshi: Membunuh diri semasa demonstrasi. Tidak begitu popular, melibatkan seseorang yang melakukan seppuku sebagai tanda peringatan kepada seseorang raja apabila segala bentuk musyawarah (persuasion) gagal. Hirate Nakatsukasa Kiyohide (1493-1553) telah melakukan kanshi untuk mengubah prinsip dan pemikiran Oda Nobunaga.
- Sokotsu-shi: Seseorang samurai akan melakukan seppuku sebagai tanda menebus kesalahannya. Ini merupakan sebab yang paling popular dalam melakukan seppuku. Antara samurai yang melakukan sokotsu-shi ini termasuklah Jenderal Takeda, Yamamoto Kansuke Haruyuki (1501-1561), karena telah membuat satu rencana yang akhirnya meletakkan posisi rajanya di dalam bahaya.
Ninja
Ninja atau Shinobi (dalam bahasa Jepang, secara harfiah berarti
"Seseorang yang bergerak secara rahasia") adalah seorang pembunuh yang
terlatih dalam seni ninjutsu (secara kasarnya "seni pergerakan sunyi")
Jepang. Ninja, seperti samurai, mematuhi peraturan khas mereka sendiri,
yang disebut ninpo. Menurut sebagian pengamat ninjutsu, keahlian seorang
ninja bukanlah pembunuhan tetapi penyusupan. Ninja berasal dari bahasa
Jepang yang berbunyi nin yang artinya menyusup. Jadi, keahlian khusus
seorang ninja adalah menyusup dengan atau tanpa suara.
Ninja biasanya segera dikaitkan dengan sosok yng terampil beladiri, ahli
menyusup dan serba misterius seperti yang tampak di dalam film atau
manga (komik Jepang). Kata ninja terbentuk dari dua kata yaitu nin dan
sha yang masing-masing artinya adalah "tersembunyi" dan "orang". Jadi
ninja adalah mata-mata profesional pada zaman feodal jepang. Sejarah
ninja juga sangat sulit dilacak. Info mengenai keberadaan mereka
tersimpan rapat-rapat dalam dokumen-dokumen rahasia.
Ninja juga bisa diartikan sebagai nama yang diberikan kepada seseorang
yang menguasai dan mendalami seni bela diri ninjutsu. Nin artinya
pertahanan dan jutsu adalah seni atau cara. Kata ninja juga diambil dari
kata ninpo. Po artinya adalah falsafah hidup atau dengan kata lain
ninpo adalah falsafah tertinggi dari ilmu beladiri ninjutsu yang menjadi
dasar kehidupan seorang ninja. Jadi ninja akan selalu waspada dan
terintregasi pada prinsip ninpo.
Ninja adalah mata-mata profesional di zaman ketika para samurai masih
memegang kekuasaan tertinggi di pemerintahan Jepang pada abad ke-12.
Pada abad ke-14 pertarungan memperebutkan kekuasaan semakin memanas,
informasi tentang aktivitas dan kekuatan lawan menjadi penting, dan para
ninja pun semakin aktif. Para ninja dipanggil oleh daimyo untuk
mengumpulkan informasi, merusak dan menghancurkan gudang persenjataan
ataupun gudang makanan, serta untuk memimpin pasukan penyerbuan di malam
hari. Karena itu ninja memperoleh latiham khusus. Ninja tetap aktif
sampai Zaman Edo (1600-1868), dimana akhirnya kekuasaan dibenahi oleh
pemerintah di Zaman Edo.
Asal-usul ninja
Kemunculan ninja pada tahun 522 berhubungan erat dengan masuknya seni
nonuse ke Jepang. Seni nonuse inilah yang membuka jalan bagi lahirnya
ninja.
Seni nonuse atau yang biasa disebut seni bertindak diam-diam adalah
suatu praktek keagamaan yang dilakukan oleh para pendeta yang pada saat
itu bertugas memberikan info kepada orang-orang di pemerintahan. Sekitar
tahun 645, pendeta-pendeta tersebut menyempurnakan kemampuan bela diri
dan mulai menggunakan pengetahuan mereka tentang nonuse untuk melindungi
diri dari intimidasi pemerintah pusat.
Pada tahun 794-1192, kehidupan masyarakat Jepang mulai berkembang dan
melahirkan kelas-kelas baru berdasarkan kekayaan. Keluarga kelas ini
saling bertarung satu sama lain dalam usahanya menggulingkan kekaisaran.
Kebutuhan keluarga akan pembunuh dan mata-mata semakin meningkat untuk
memperebutkan kekuasaan. Karena itu permintaan akan para praktisi nonuse
semakin meningkat. Inilah awal kelahiran ninja. Pada abad ke-16 ninja
sudah dikenal dan eksis sebagai suatu keluarga atau klan di kota Iga
atau Koga. Ninja pada saat itu merupakan profesi yang berhubungan erat
dengan intelijen tingkat tinggi dalam pemerintah feodal para raja di
jepang. Berdasarkan hal itu, masing-masing klan memiliki tradisi
mengajarkan ilmu beladiri secara rahasia dalam keluarganya saja. Ilmu
beladiri yang kemudian dikenal dengan nama ninjutsu. Dalah ilmu yang
diwariskan dari leluhur mereka dan atas hasil penyempurnaan seni
berperang selama puluhan generasi. Menurut para ahli sejarah hal itu
telah berlangsung selama lebih dari 4 abad. Ilmu itu meliputi filsafat
bushido, spionase, taktik perang komando, tenaga dalam, tenaga
supranatural, dan berbagai jenis bela diri lain yang tumbuh dan
berkembang menurut zaman.
Namun ada sebuah catatan sejarah yang mengatakan bahwa sekitar abad ke-9
terjadi eksodus dari Cina ke Jepang. Hal ini terjadi karena runtuhnya
dinasti Tang dan adanya pergolakan politik. Sehingga banyak pengungsi
yang mencari perlindungan ke jepang.sebagian dari mereka adalah jendral
besar, prajurit dan biksu. Mereka menetap di provinsi Iga, di tengah
pulau Honshu. Jendral tersebut antara lain Cho Gyokko, Ikai Cho Busho
membawa pengetahuan mereka dan membaur dengan kebudayaan setempat.
Strategi militer, filsafat kepercayaan, konsep kebudayaan, ilmu
pengobatan tradisional, dan falsafah tradisional. Semuanya menyatu
dengan kebiasaan setempat yang akhirnya membentuk ilmu yang bernama
ninjutsu.
Bela diri ninjutsu
Gerakan beladiri ninjutsu hanya tendangan, lemparan, patahan, dan
serangan. Kemudian dilengkapi dengan teknik pertahanan diri seperti
bantingan, berputar dan teknik bantu seperti meloloskan diri, mengendap,
dan teknik khusus lainnya. Namun, dalam prakteknya ninja menghindari
kontak langsung dengan lawannya, oleh karena itu berbagai alat lempar,
lontar, tembak, dan penyamaran lebih sering digunakan. Berbeda dengan
seni beladiri lain, ninjutsu mengajarkan teknik spionase, sabotase,
melumpuhkan lawan, dan menjatuhkan mental lawan. Ilmu tersebut digunakan
untuk melindungi keluarga ninja mereka. Apa yang dilakukan ninja memang
sulit dimengerti. Pada satu sisi harus bertempur untuk melindungi, di
sisi lain ninja harus menerapkan "berperilaku kejam dan licik" saat
menggunakan jurus untuk menghadapi lawan. Di sisi lain ajaran ninpo
memberi petunjuk bahwa salah satu tujuan ninjutsu adalah mengaktifkan
indra keenam mereka. Paduan intuisi dan kekuatan fisik pada jangka waktu
yang lama memungkinkan para ninja untuk mengaktifkan indra keenamnya.
Sehingga dapat mengenal orang lain dengan baik dan mengerti berbagai
persoalan dalam berbagai disiplin ilmu.
Di dalam ninpo terdapat teknik beladiri tangan kosong (taijutsu), teknik
pedang (kenjutsu), teknik bahan peledak dan senjata api (kajutsu),
teknik hipnotis (saimonjutsu), dan teknik ilusi (genjutsu). Pada aliran
Togaku Ryu dikenal adanya energi yang disebut Kuji Kiri. Prinsipnya
adalah penggabungan antara kekuatan fisik dan mental. Penyaluran energi
yang tepat dari tenaga kuji kiri dapat bersifat menghancurkan, namun di
sisi lain jika digunakan untuk olah pikir dapat digunakan untuk
menyelesaikan persoalan yang pelik.
Ninjutsu akan sia-sia jika ninja tidak memiliki mental dan spiritual
yang kuat. Untuk itu ninja harus menguasai Kuji-in, yaitu kekuatan
spiritual dan mental berdasarkan simbol yang terdapat di telapak tangan
yang dipercaya menjadi saluran energi. Simbol di tangan di ambil dari
praktek pada masa awal penyebaran agama Buddha. Kuji-in digunakan untuk
membangun kepercayaan diri dan kekuatan seorang ninja. Kuji-in mampu
meningkatkan kepekaan terhadap keadaan bahaya dan mendeteksi adanya
kematian.
Dari 81 simbol yang ada, hanya 9 yang utama, yaitu rin (memberi kekuatan
tubuh), hei (memberi kekuatan menyamarkan kehadiran seseorang), Toh
(menyeimbangkan bagian padat dan cair pada tubuh), sha (kemampuan
menyembuhkan), kai (memberi kontrol menyeluruh terhadap fungsi tubuh),
jin (meningkatkan kekuatan telepati), retsu (memberi kekuatan
telekinetik), zai (meningkatkan keselarasan terhadap alam), dan zen
(memberi pencerahan pikiran dan pemahaman). Seorang ninja akan menjadi
master sejati dengan menguasai simbol-simbol ini.
Walaupun terdapat banyak keluarga ninja di Jepang, baru sekitar tahun
enam puluhan keluarga ninja baru dapat di dekati oleh orang luar. Sejak
ninja dinyatakan terlarang oleh shogun tokugawa pada abad ke-17. Pada
tahun 1950 larangan tersebut dicabut oleh pemerintah Jepang. Pada tahun
1960 televisi jepang menayangkan laporan dokumentasi dan sejarah ninja.
Setelah itu salah satu aliran yang dapat membuka diri dan memperkenalkan
ninja ke dunia luar adalah aliran togakure-ryu dengan pewaris dari
generasi ke 34, masaaki hatsume, yang profesi sehari-harinya adalah
seorang tabib ahli penyembuhan dan pengobatan tulang. Pada tahun 1978
ninjutsu berhasil di publikasikan dan diajarkan ke amerika oleh stephen
k. hayes. Sejak saat itu ninjutsu menjadi cabang beladiri yang paling
banyak diminati.
Peralatan ninja
Ninja diharuskan untuk bisa bertahan hidup di tengah alam, karena itu
mereka menjadi terlatih secara alamiah untuk mampu membedakan tumbuhan
yang bisa dimakan, tumbuhan racun, dan tumbuhan obat. Mereka memiliki
metode cerdik untuk mengetahui waktu dan mata angin. Ninja menggunakan
bintang sebagai alat navigasi mereka ketika menjalankan misi di malam
hari. Mereka juga mahir memasang perangkap, memasak hewan, membangun
tempat berlindung, menemukan air dan membuat api.
Ninja memakai baju yang menutup tubuh mereka kecuali telapak tangan dan
seputar mata. Baju ninja ini disebut shinobi shozoko. Shinobi shozoko
memiliki 3 warna. Baju warna hitam biasanya dipakai ketika melakukan
misi di malam hari dan bisa juga sebagai tanda kematian yang nyata bagi
sang target. Warna putih digunakan untuk misi di hari bersalju. Warna
hijau sebagai kamuflase agar mereka tidak terlihat dalam lingkungan
hutan.
Shinobi shozoko memiliki banyak kantong di dalam dan luarnya. Kantong
ini digunakan untuk menyimpan peralatan kecil dan senjata yang mereka
butuhkan, seperti racun, shuriken, pisau, bom asap dan lain-lain. Ninja
juga membawa kotak P3K kecil tradisional, yang diisi dengan cairan dan
minuman. Ninja juga memakai tabi yang mirip sepatu boot. Celah yang
memisahkan jempol kaki dengan jari lainnya memudahkan ninja saat
memanjat tali atau dinding.
Ninja wanita atau kunoichi yang biasanya bekerja dengan menggunakan
kefemininan mereka ketika melakukan pendekatan pada sang target
menggunakan manipulasi kejiwaan dan perang batin sebagai senjata mereka.
mereka bisa mendekati target dan membunuhnya tanpa jejak. Kunoichi
memiliki misi yang berbeda dengan ninja laki-laki. Mereka lebih sering
dekat dengan target, sehingga mereka juga lebih sering menggunakan
senjata jarak dekat seperti metsubishi, racun, golok, tali, dan tessen.
Selain itu senjata-senjata tersebut juga praktis dibawa tanpa kelihatan.
Ninja memiliki senjata dalam berbagai jenis, bentuk, dan ukuran. Senjata
yang biasanya dipakai adalah katana (pedang) dan sering diletakkan di
punggung. Senjata lempar seperti pisau kecil, atau cakram berbentuk
bintang, dikenal sebagai shuriken. Peralatan canggih ninja lainnya
adalah sabit berantai yang disebut kusarigama, kaginawa (jangkar
bertali) untuk memanjat dinding, ashiaro untuk membuat jejak kaki palsu
agar tidak terlacak saat menjalankan misi, metsubushi (cangkang telur
yang diisi dengan pasir dan serbuk logam, biasanya juga kotoran tikus)
yang berfungsi untuk membutakan lawan.
Pelatihan
Pada saat anak-anak, ninja telah dilatih untuk waspada dan dididik dalam
kerahasiaan dan tradisi ilmu mereka. Pada umur 5-6 tahun mereka
diperkenalkan dengan permainan ketangkasan dan keseimbangan tubuh.
Anak-anak disuruh berjalan di atas papan titian yang sangat kecil,
mendaki papan yang terjal, dan melompati semak-semak yang berduri. Pada
umur 9 tahun mereka dilatih untuk kelenturan otot. Anak-anak berlatih
berguling dan meloncat. Setelah itu anak-anak diajarkan teknik memukul
dan menendang pada target jerami yang di ikat. Setelah itu pelatihan
meningkat ke seni bela diri tanpa senjata dan setelahnya dasar-dasar
menggunakan pedang dan tongkat.
Pada masa remaja mereka diajari cara menggunakan senjata khusus.
Melempar pisau, penyembunyian senjata, teknik tali, berenang, taktik
bawah air, dan teknik menggunakan alam untuk mendapat informasi atau
untuk menyembunyikan diri. Waktu mereka dihabiskan dalam ruang tertutup
atau bergelantungan di pohon untuk membangun kesabaran, daya tahan, dan
stamina. Terdapat pula latihan gerak tanpa suara dan lari jarak jauh.
Mereka juga diajarkan teknik melompat dari pohon ke pohon atau atap ke
atap.
Post a Comment
Your feedback is always appreciated.
I will try to reply to your queries as soon as time allows.
Note:
Please do not spam. Spam comments will be deleted immediately upon I review.
Best Regardz